SIAPAKAH YANG PATUT DIPERSALAHKAN ???
Seorang anak laki-laki keciL, berusia 7 tahun, dengan sedikit berlarian ke arah seorang bunda lalu duduk dipangkuannya. Ditatapnyalah mata Bunda, tatap dalam dan sambil mengusap wajah si bunda si anak berkata,” Bun, sayang nggak denganku ?” Deg…kalimat singkat itu bisa membuat jantung si bunda berhenti sejenak untuk coba mencerna kata-kata yang diucapkan si bocah laki-laki itu. Si bunda membalas tatap mata bocah itu dan dipeluk eratlah anak itu sambil berkata, “ Bunda sayang sama si A”. Kita sebut saja identitas si bocah dengan ‘A’. Saat itu timbul keinginan si bunda untuk mencari informasi tentang keadaan rumahnya. Bunda itu mencoba membuat sebuah pohon harapan dan dari pohon itu muncullah buah. Dalam buah-buah itu ada tertulislah harapan ‘A’.
“Aku ingin mama, papa nggak berantem lagi,” tertunduk wajahnya menekuri lantai. Sebelumya dia berkata kalau dia berharap bisa pinter, disenangi teman sekelasnya. Ketika si bunda bertanya,” Emang papa dan mama sering berantem ya ?” Anggukkan kepalalah yang menjadi jawaban pertanyaan si bunda. Si bunda pun menyambung dengan pertanyaan lain, “ Berantemnya di depan A dan A ngeliat papa dan mama sedang bertengkar,” anggukan kembali kulihat disana. Subhanallah…otak anak sangat mudah mengingat tentang sesuatu, entah itu hal yang baik atau buruk, semuanya direkam.
Suami-istri yang mempunyai aktivitas padat dalam kesehariannya sangat rentan dengan yang namanya perselisihan. Pemicunya mungkin bukan karena masalah yang besar, misalnya masalah antar-jemput anak yang menjadi bahan perselisihan mereka. Tanpa suami-istri itu sadari, perselisihan di antara mereka berdampak sangat besar bagi perkembangan anak, apalagi perselisihan itu dilihat langsung oleh si anak seperti yang terjadi pada cerita anak di atas. Karena hal itulah, jangan menganggap sesuatu yang aneh jika si anak bersikap destruktif bila keinginannya tidak dapat dipenuhi oleh orang tuanya.
Coba renungi puisi Dorothy Law Nolte
Jika anak dibesar dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar mempertemukan cinta dalam kehidupan
Ketika seorang anak tersebut berada di lingkungan keluarga, dekat dengan orang tua, bisa jadi sikap yang ia perlihatkan jauh dari keadaan sebenarnya. Ketika di lingkungan tersebut, si anak akan bersikap manis dan penurut, tetapi jika berada di luar lingkungan tersebut ia menjadi ‘ si trouble maker’, mengapa ?
Pada dasarnya, ketika seorang anak berada di rumah, dekat dengan orang tua, yang ia butuhkan adalah rasa aman, pengakuan, dan dukungan dari orang tuanya. Ternyata pada sebagian anak, pengakuan dan kebutuhan itu tidak ia dapatkan. Karena hal itulah ia mencoba mencari solusi di luar lingkungan keluarganya, yaitu di lingkungan sekolah atau bermainnya. Apabila ia tidak mendapatkan keinginannya itu, maka ia akan menyiasatinya dengan cara membuat ‘masalah’ pada teman sepermainannya. Salahnya lagi, ketika orang tua diberi tahu bahwa anaknya mempunyai sikap yang kurang baik di lingkungan sekolah, baik kepada teman dan guru, mereka seakan menutup mata dan menyangkal perilaku negatif anaknya. Alasan yang paling sering digunakan oleh pihak orang tua untuk menunjukan penyangkalan mereka dengan mengatakan, “Itukan tangung jawab sekolah”. Padahal jika ditilik lebih jauh lagi, maka tugas mendidik bukan hanya bertumpu pada guru, tapi yang paling utama dan penting adalah peran orang tua dan ibu sebagai madrasah utama dan utama pembentukan kepribadian anak. Bukankah kepribadian seseorang terbentuk pada usia 0 – 5 tahun dan usia tersebut anak masih berada dalam pengawasan orang tua. Saat perilaku anak semakin tak bisa dikontrol ia cenderung destruktif (suka memukul teman, memaki), maka siapakah yang pantas dipersalahkan ?
16 JUNI 2006
Seorang anak laki-laki keciL, berusia 7 tahun, dengan sedikit berlarian ke arah seorang bunda lalu duduk dipangkuannya. Ditatapnyalah mata Bunda, tatap dalam dan sambil mengusap wajah si bunda si anak berkata,” Bun, sayang nggak denganku ?” Deg…kalimat singkat itu bisa membuat jantung si bunda berhenti sejenak untuk coba mencerna kata-kata yang diucapkan si bocah laki-laki itu. Si bunda membalas tatap mata bocah itu dan dipeluk eratlah anak itu sambil berkata, “ Bunda sayang sama si A”. Kita sebut saja identitas si bocah dengan ‘A’. Saat itu timbul keinginan si bunda untuk mencari informasi tentang keadaan rumahnya. Bunda itu mencoba membuat sebuah pohon harapan dan dari pohon itu muncullah buah. Dalam buah-buah itu ada tertulislah harapan ‘A’.
“Aku ingin mama, papa nggak berantem lagi,” tertunduk wajahnya menekuri lantai. Sebelumya dia berkata kalau dia berharap bisa pinter, disenangi teman sekelasnya. Ketika si bunda bertanya,” Emang papa dan mama sering berantem ya ?” Anggukkan kepalalah yang menjadi jawaban pertanyaan si bunda. Si bunda pun menyambung dengan pertanyaan lain, “ Berantemnya di depan A dan A ngeliat papa dan mama sedang bertengkar,” anggukan kembali kulihat disana. Subhanallah…otak anak sangat mudah mengingat tentang sesuatu, entah itu hal yang baik atau buruk, semuanya direkam.
Suami-istri yang mempunyai aktivitas padat dalam kesehariannya sangat rentan dengan yang namanya perselisihan. Pemicunya mungkin bukan karena masalah yang besar, misalnya masalah antar-jemput anak yang menjadi bahan perselisihan mereka. Tanpa suami-istri itu sadari, perselisihan di antara mereka berdampak sangat besar bagi perkembangan anak, apalagi perselisihan itu dilihat langsung oleh si anak seperti yang terjadi pada cerita anak di atas. Karena hal itulah, jangan menganggap sesuatu yang aneh jika si anak bersikap destruktif bila keinginannya tidak dapat dipenuhi oleh orang tuanya.
Coba renungi puisi Dorothy Law Nolte
Jika anak dibesar dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar mempertemukan cinta dalam kehidupan
Ketika seorang anak tersebut berada di lingkungan keluarga, dekat dengan orang tua, bisa jadi sikap yang ia perlihatkan jauh dari keadaan sebenarnya. Ketika di lingkungan tersebut, si anak akan bersikap manis dan penurut, tetapi jika berada di luar lingkungan tersebut ia menjadi ‘ si trouble maker’, mengapa ?
Pada dasarnya, ketika seorang anak berada di rumah, dekat dengan orang tua, yang ia butuhkan adalah rasa aman, pengakuan, dan dukungan dari orang tuanya. Ternyata pada sebagian anak, pengakuan dan kebutuhan itu tidak ia dapatkan. Karena hal itulah ia mencoba mencari solusi di luar lingkungan keluarganya, yaitu di lingkungan sekolah atau bermainnya. Apabila ia tidak mendapatkan keinginannya itu, maka ia akan menyiasatinya dengan cara membuat ‘masalah’ pada teman sepermainannya. Salahnya lagi, ketika orang tua diberi tahu bahwa anaknya mempunyai sikap yang kurang baik di lingkungan sekolah, baik kepada teman dan guru, mereka seakan menutup mata dan menyangkal perilaku negatif anaknya. Alasan yang paling sering digunakan oleh pihak orang tua untuk menunjukan penyangkalan mereka dengan mengatakan, “Itukan tangung jawab sekolah”. Padahal jika ditilik lebih jauh lagi, maka tugas mendidik bukan hanya bertumpu pada guru, tapi yang paling utama dan penting adalah peran orang tua dan ibu sebagai madrasah utama dan utama pembentukan kepribadian anak. Bukankah kepribadian seseorang terbentuk pada usia 0 – 5 tahun dan usia tersebut anak masih berada dalam pengawasan orang tua. Saat perilaku anak semakin tak bisa dikontrol ia cenderung destruktif (suka memukul teman, memaki), maka siapakah yang pantas dipersalahkan ?
16 JUNI 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home